Gereja Stasi St.Monika, Paniki Atas

Gereja Stasi St.Monika, Paniki Atas

Senin, 30 Juni 2014

Mengenal warna-warna Liturgis


Warna liturgis hijau
Warna hijau dikenakan dalam Masa Biasa. Masa Biasa ini jatuh sesudah Masa Paskah, mulai Hari Minggu Pentakosta sampai hari Sabtu sebelum Hari Minggu Pertama Masa Adven. Masa Biasa berpusat pada masa tiga tahun karya misi Kristus di tengah masyarakat; ini dilihat dari bacaan-bacaan Injil yang biasanya mengisahkan ajaran-ajaran dan mukjizat-mukjizat Tuhan di bumi.
Warna hijau adalah warna alam dan pepohonan; ia menyerupai warna tunas-tunas muda yang menyembul pada awal musim semi. Ia adalah warna kehidupan dan harapan baru, melambangkan harapan yang ada pada diri kita setelah dicurahkannya Roh Kudus pada hari Pentakosta. Pada hari Pentakosta ini Sang Penolong yang dijanjikan hadir di tengah-tengah kita, dan lahir pulalah Gereja Katolik, yaitu Tubuh Kristus, tanda Kerajaan Allah di bumi, sekaligus satu-satunya Pengantin Perempuan Tuhan.

Warna liturgis merah
Merah sebagai warna liturgis dikenakan pada hari-hari berikut:
  • Hari Minggu Palma
  • Hari Jumat Agung
  • Hari Minggu Pentakosta
  • Perayaan-perayaan Sengsara Tuhan
  • Pesta para rasul dan pengarang Injil (kecuali Santo Yohanes)
  • Perayaan-perayaan para martir
Jika kita cermati, sebagian besar hari-hari itu memiliki persamaan, yaitu DARAH. Warna merah, yang adalah warna darah, merupakan lambang pengorbanan Kristus dan para martir-Nya. Melalui warna merah, kita diingatkan akan Darah Kudus yang telah tercurah bagi kita di kayu salib. Kita yang telah berdosa melawan Dia, telah ditebus-Nya sehingga semua yang percaya pada-Nya beroleh hidup kekal.
Kita pun juga dikuatkan oleh jasa-jasa para martir Gereja. Saat ini mereka sudah hidup bersama Allah di surga, namun senantiasa mendoakan kita, Gereja yang masih berziarah di bumi, agar kelak kita juga bisa ikut merayakan Perjamuan Anak Domba di surga. Warna merah darah para martir memberi kita semangat untuk meniru kesaksian mereka dalam mengikuti Kristus sampai mati.
Selain itu, merah juga melambangkan API, sesuai dengan Hari Raya Pentakosta. Lidah-lidah api adalah lambang Roh Kudus; api inilah yang mengobarkan iman para rasul sehingga mereka berani mewartakan Kristus kepada sahabat maupun musuh. Iman mereka menyala-nyala dan memukau semua yang mendengar kesaksian mereka, sehingga semakin banyaklah jiwa yang dimenangkan bagi Kristus.

Warna liturgis kuning emas atau putih
Warna kuning (emas) atau putih dikenakan pada:
  • Masa Natal
  • Masa Paskah
  • Perayaan-perayaan Tuhan Yesus (kecuali peringatan sengsara-Nya)
  • Pesta-pesta Santa Perawan Maria, para malaikat, dan para kudus yang bukan martir
  • Pesta Pertobatan Santo Paulus Rasul (25 Januari)
  • Pesta Takhta Santo Petrus Rasul (22 Februari)
  • Kelahiran Santo Yohanes Pembaptis (24 Juni)
  • Pesta Santo Yohanes Rasul dan Pengarang Injil (27 Juni)
  • Hari Raya Semua Orang Kudus (1 November)
  • Misa Arwah (opsional)
Kuning atau putih melambangkan sukacita dan kemenangan, kekudusan dan kemurnian, serta cahaya ilahi. Melalui kedua warna ini, kita diingatkan akan peristiwa-peristiwa gembira dalam kehidupan Tuhan Yesus dan Bunda-Nya, serta juga kesucian para orang kudus yang patut kita teladani. Peristiwa-peristiwa gembira menunjukkan kepada kita bagaimana memperoleh kebahagiaan sejati, yaitu dengan mendengarkan dan mematuhi Kehendak Allah. Kebahagiaan ala Kristen adalah kebahagiaan yang berlandaskan kepercayaan akan janji setia Allah melalui suka dan duka, tidak melulu gejolak emosi yang hanya sementara saja.
Putih juga adalah lambang kebangkitan, maka warna ini digunakan pada Masa Paskah untuk memperingati kebangkitan Kristus seturut Kitab Suci. Putih pun dapat dikenakan imam saat memimpin Misa Arwah; ini karena kita memiliki pengharapan bahwa mereka yang hidup dan meninggal di dalam Kristus, dibangkitkan juga bersama Kristus yang telah menang atas maut.

Warna liturgis ungu
Warna ungu paling sering dikenakan selama Masa Adven dan Masa Prapaskah, serta juga dapat dikenakan dalam Misa Arwah sebagai pengganti warna hitam.
Warna ungu terutama melambangkan pertobatan dan penitensi. Warna ini, yang disebut juga violet, mengingatkan kita akan bunga violet yang kuntumnya tertunduk ke tanah sebagai simbol kerendahan hati. Masa Prapaskah adalah masa untuk memperbanyak puasa, doa, dan amal kasih; kita dengan rendah hati menyesali dosa-dosa kita sementara menantikan hidup baru di dalam Kristus yang wafat dan bangkit.
Sementara itu, Masa Adven adalah masa penantian akan kelahiran Mesias yang dijanjikan para nabi. Warna ungu pada Masa Adven sesuai dengan warna semburat fajar sebelum terbitnya matahari; dengan penuh harapan kita menunggu datangnya Sang Timur yang akan menghalau kegelapan dosa.
Terakhir, warna ungu pun sesungguhnya warna kerajaan; pada zaman Yesus, ungu merupakan warna yang mahal karena memerlukan zat warna khusus. Jubah warna ungu seringkali dikenakan oleh raja, atau untuk menyambut raja.

Warna liturgis hitam
Warna hitam mungkin sekarang jarang sekali dipergunakan, namun warna ini juga merupakan salah satu warna liturgis Gereja.
Warna hitam biasanya digunakan saat:
  • Peringatan Arwah Semua Orang Beriman
  • Misa Arwah
Lingkaran Warna Liturgi
Hitam adalah warna yang melambangkan duka atas kematian, serta gelapnya makam orang mati. Lalu mengapa Gereja mengenakan warna yang murung ini?
Meskipun iman kita adalah iman yang penuh pengharapan, namun iman kita juga menyadari realita dosa dan penghakiman. Kita tidak dengan serta-merta menghakimi apakah jiwa seseorang masuk neraka atau masuk surga. Kita memang memiliki pengharapan atas kebahagiaan jiwa-jiwa terutama jiwa-jiwa Kristen, namun dengan rendah hati kita juga mengakui bahwa kita tidak mengetahui hasil penghakiman Allah atas jiwa tersebut.
Gereja selalu menekankan bahwa kita semua adalah pendosa yang harus terus bertobat dan memperbaiki diri. Karena itulah, memiliki pengharapan bukan berarti kita tidak berdoa dan bertobat; justru pengharapan inilah yang semestinya mendorong kita agar semakin menyadari kelemahan-kelemahan manusiawi kita di hadapan Allah.
Warna hitam mengingatkan kita akan realita ini, serta kemungkinan terburuk yang kita hadapi apabila kita tidak berusaha hidup kudus. Jika kita menganggap keselamatan itu “otomatis”, kapan kita mau serius mengikuti ajaran-ajaran Kristus? Maka, baiklah kita saling mendoakan dan menguatkan agar kita semua boleh mendapatkan kebahagiaan abadi bersama Allah dan para kudus di surga. Jangan lupa juga untuk mendoakan mereka yang masih berada di Api Penyucian; mereka ini jiwa-jiwa suci yang rendah hati, yang belum merasa pantas untuk menikmati surga sehingga rela dimurnikan terlebih dahulu. Doakanlah supaya Allah berkenan untuk segera menghadiahkan surga kepada mereka.

Warna liturgis rose
Warna rose ini mungkin jarang kita lihat karena tergolong warna opsional (boleh dikenakan, boleh tidak). Warna rose hanya digunakan pada Hari Minggu Ketiga Masa Adven, yang disebut sebagai Minggu Gaudete; dan Hari Minggu Keempat Masa Prapaskah, yang disebut Minggu Laetare. Untuk Masa Adven, kita mungkin ingat bahwa warna rose ini cocok dengan rangkaian lilin Adven, yang terdiri dari 3 lilin ungu dan 1 lilin rose.
Warna rose mengingatkan kita bahwa kita sudah memasuki pertengahan masa penantian kita. Rose adalah warna kebahagiaan, sebab waktu penantian kita tidak lama lagi. Kita meyakini janji setia Allah akan keselamatan yang datang melalui Mesias, yaitu Tuhan kita Yesus Kristus.
Namun perlu diingat bahwa warna rose dikelilingi oleh warna ungu; maksudnya, kita harus tetap menjaga sikap hati dalam suasana tobat dan penyesalan, agar layak dan pantas menyambut kelahiran Mesias, serta kebangkitan-Nya yang membawa keselamatan dan hidup abadi.

Pertanyaan selanjutnya adalah: Mengapa kita perlu mengikuti kaidah-kaidah liturgis seperti ini?
Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan berbagai cara, namun saya ingin mengajak kita merenungkan ini: saat menyembah Allah sebagai satu kesatuan Gereja Universal, maka baiklah kita berbicara dalam satu bahasa. Ya, bahasa itu adalah bahasa Liturgi Suci. Ingat, Allah menceraiberaikan Israel Lama dengan mengacaukan bahasa mereka; selanjutnya, Allah pula yang menyatukan Israel Baru (Gereja) dengan mencurahkan karunia berbahasa. Kini Gereja telah berbicara dengan satu bahasa dalam satu iman dan satu baptisan; baiklah kita dengan rendah hati mempelajari bahasa ini sebagai satu kesatuan Tubuh Mistik Kristus.

Pertama kali ditulis untuk Facebook Page Gereja Katolik, dengan signature Deo Duce. Dikopi dengan beberapa penyesuaian untuk Lux Veritatis 7 (http://luxveritatis7.wordpress.com).

Kamis, 26 Juni 2014

Hari Raya Hati Yesus Yang Mahakudus

Jumat, 27 Juni 2014 Bacaan Injil: Mat 11:25-30  
"Aku lemah lembut dan rendah hati."
Sekali peristiwa berkatalah Yesus, “Aku bersyukur kepada-Mu, ya Bapa, Tuhan langit dan bumi! Sebab misteri Kerajaan Kausembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Kaunyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan di hati-Mu. Semua telah diserahkan oleh Bapa kepada-Ku, dan tidak seorang pun mengenal Bapa selain Anak, serta orang-orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya. Datanglah kepada-Ku, kamu semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberikan kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang, dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati. Maka hatimu akan mendapat ketenangan. Sebab enaklah kuk yang Kupasang, dan ringanlah beban-Ku.”
Renungan:
"Hati Allah berkobar-kobar dengan belas kasihan! Pada hari ini, Hari Raya Hati Yesus Yang Mahakudus, Gereja menghadirkan ke hadapan kita misteri ini untuk kita renungkan: misteri hati seorang Allah yang merasakan belas kasihan dan yang mencurahkan segenap kasih-Nya ke atas umat manusia. 
Paus Benedictus XVI
Suatu kasih misterius, yang dalam ayat-ayat Perjanjian Baru disingkapkan kepada kita sebagai kasih Allah yang dahsyat dan tak terbatas bagi umat manusia. Allah tidak berkecil hati kendati kedurhakaan ataupun penolakan umat yang telah dipilih-Nya; melainkan, dengan belas kasihan yang tak terhingga Ia mengutus Putra Tunggal-Nya ke dalam dunia untuk membebankan ke atas Diri-Nya sendiri nasib dari kasih yang hancur, agar dengan menakluklan kuasa kejahatan dan maut, Ia dapat memulihkan kembali umat manusia yang diperbudak oleh dosa ke martabat mereka sebagai putra dan putri Allah." (Paus Benediktus XVI, Homili 2009)
dari berbagai sumber (AIN)

Senin, 23 Juni 2014

Selamat jalan, Pastor-ku

Mengenang Pastor Made Miasa, Pr, maka yang terlintas dalam benak kami adalah sepeda motor ... karena Pastor kita yang satu ini sangat gemar mengendarai sepeda motor. Kemanapun beliau bertugas, sepeda motor menjadi teman setianya. Pernah suatu ketika, sepeda motor megapro tua-nya kempis ban saat digunakan bertugas di malam hari, sehingga beliau harus mendorong motornya kesana kemari mencari bengkel tambal ban di malam hari itu.
Rm. Made Miasa, Pr
Namun kemudian tidak lama, motornya berganti dengan Vario yang lebih trendi penampilannya dan lebih 'greng' mengantar Pastor bertugas bahkan ke pelosok-pelosok daerah.
Pastor yang juga merupakan Ketua Komisi Kitab Suci Keuskupan Manado ini juga terkenal pintar dan ramah serta tidak 'pelit' membagikan ilmunya. Salah satu diantaranya saat mengajarkan bahasa Itali kepada anak-anak muda di Stasi St.Monika, juga memberikan pendalaman Kitab Suci setiap hari Sabtu di salah satu wilayah rohani yang ada di Stasi St. Monika.
Kenangan terakhirnya bersama kami, umat di Stasi St.Monika adalah saat beliau memberikan pelayanan misa di Hari Pentakosta. Dimana dalam homilinya beliau mengungkapkan kebanggaannya kepada perkembangan umat di Stasi St.Monika, baik perkembangan fisik gereja maupun perkembangan hidup menggereja umat.
Sebersit harapan beliau sampaikan, yakni keinginannya menghadiri acara pentahbisan gereja Stasi St.Monika yang rencananya akan dilaksanakan pada hari Raya Paskah di tahun 2015.
Selamat jalan, Pastor. Air mata kami mengiringi kepergianmu, namun kami percaya bahwa engkau telah menemukan damai dan bahagiamu kini bersama Allah Bapa di Surga.
Doakan kami yang masih mengembara di dunia ini.....

24 Juni : Hari Raya Kelahiran St. Yohanes Pembabtis

St. Yohanes Pembabtis
Ayah Yohanes ialah Zakarias, seorang imam di Yerusalem. Ibunya Elisabeth adalah seorang puteri keturunan kaum Harun. Kedua orang tua ini saleh tetapi tidak mempunyai anak sampai hari tuanya, sebab Elisabeth mandul. Mereka sungguh mengharapkan seorang anak, namun usia yang sudah lanjut sungguh menipiskan harapan itu. Meski demikian mereka tetap berharap pada Tuhan dan berkanjang dalam dosa.
Doa-doa mereka kiranya dikabulkan Tuhan. Sekali peristiwa, ketika Zakarias mendapat giliran melayani Tuhan di Bait Allah, tampaklah kepadanya Malaikat Gabriel. “Jangan takut Zakarias, karena Allah mengabulkan permohonanmu; Elisabeth isterimu akan mengandung dan melahirkan bagimu seorang anak laki-laki dan haruslah kau namai dia Yohanes… Ia akan berjalan mendahului Tuhan dalam roh dan kuasa Elia untuk membuat hati-hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati orang-orang durhaka kepada pikiran orang-orang benar dan dengan demikian menyiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagiNya”, kata malaikat itu kepadanya (Luk1:5-25).
Zakarias menjadi bisu dan tidak dapat berbicara karena ia ragu dan tidak percaya kepada khabar dari malaikat Allah itu. Ia baru dapat sembuh dan dapat berbicara lagi ketika Yohanes lahir, terutama ketika nama Yohanes diberikan kepada sang bayi itu. Ketika Yohanes lahir, banyak orang berkata: “Akan menjadi apakah anak ini kelak? Sebab tangan Tuhan menyertai dia.”
Tugas Yohanes sebagaimana tertulis dalam Injil, ialah menjadi bentara Al-Masih, Yesus Kristus, Sang Penebus. Kuasa roh didalam dirinya telah terasa semenjak ada dalam kandungan ibunya. Hal ini dapat terlihat dalam peristiwa pertemuan Maria dan Elisabeth (Luk1:39-45).
Hidup dan peranannya berkaitan dengan pribadi Yesus, Al-Masih. Ia adalah utusan Allah yang mendahului kedatangan Al-Masih. Yesus sendiri menyebut Yohanes ‘sang nabi’, bahkan lebih besar daripada para nabi. Karena itu kelahirannya sungguh menggembirakan banyak orang. Sebagaimana nabi-nabi lain ditolak dan dianiaya oleh umat, kepada siapa mereka di utus Allah, kematian Yohanes Pemandi pun sangat tragis. Atas perintah Herodes, raja wilayah Yudea, Yohanes Pemandi ditangkap dan dipenjarakan karena ia berani mengecam Herodes yang berani mengambil Herodias-isteri saudaranya, Filipus-menjadi isteri. Akhirnya, atas bujukan dan akal busuk Herodias, Herodes memerintahkan untuk memenggal kepala Yohanes Pembabtis (Mat14:1-12; Luk9:9-7).
Setelah kematiannya, selesailah tugas Yohanes dan mulailah Yesus tampil di hadapan umum untuk mewartakan datangnya Kerajaan Allah. 
sumber : http://www.imankatolik.or.id

Minggu, 22 Juni 2014

Jangan Mencari Kesalahan Orang Lain



Renungan hari ini, Senin 23 Juni 2014 : Bacaan diambil dari Mat 7:1-5
“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.
Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu.
Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”

Menyalahkan Orang Lain
Jangan mencari kesalahan orang yang timpang
atau tersandung-sandung di sepanjang jalan kehidupan,
kecuali engkau sudah mengenakan sepatu yang dipakainya,
atau menanggung beban yang dipikulnya.
Mungkin ada paku dalam sepatunya yang melukai kakinya,
meski tersembunyi dari pandanganmu,
beban yang ditanggungnya bila kaupikul di punggungmu
mungkin ‘kan membuatmu tersandung pula.
Jangan terlalu keras pada orang yang melakukan kesalahan
atau melempari dia dengan kayu atau batu
kecuali engkau yakin, ya, sangat yakin,……
bahwa kau sendiri tak punya kesalahan.

Saya memiliki kebiasaan buruk, yang hampir semua dari Anda memilikinya juga. Menilai orang lain dengan poin yang sangat rendah. Dengan mudah kita akan berkata, begitu saja tak bisa, tak becus, dasar o’on, bodoh, tolol dan perkataan menyakitkan lainnya. Saat melihat orang lain melakukan kesalahan, dengan mudahnya kita mengetokkan palu layaknya hakim dan menundingnya dengan sinis, tanpa kita pernah mau tahu apa alasannya atau hal-hal apa yang membuat ia melakukan hal itu.
Giliran kita mengalami apa yang ia alami. Atau merasakan apa yang ia rasa. Atau melakukan apa yang ia lakukan. Belum tentu kita bisa melakukannya dengan baik, atau jangan-jangan poin kita justru ada dibawahnya. Lihat saja para penonton bola yang bisanya cuma teriak-teriak dan memaki-maki pemain yang sedikit saja melakukan kesalahan. Sesekali turun ke lapangan dong, dan tunjukkan permainan bola Anda!, demikian saya akan menantangnya.
Tak perlu menilai orang lain, sebab kita tidak pernah tahu seperti apa kita seandainya berada di posisinya. Belajar memahami orang lain jauh lebih baik daripada kita mengecamnya. Kita bukan manusia yang anti kesalahan, lalu mengapa kita begitu mudah mencaci kesalahan orang? Paling tidak kita harus pernah mengalaminya sendiri lebih dulu, barulah kita boleh berkata-kata.
Stop menilai orang lain sebelum kita mengalaminya lebih dulu.
Sumber : http://www.renungan-spirit.com

Sabtu, 21 Juni 2014

Mencintai Tanpa Syarat



HARI RAYA TUBUH DAN DARAH KRISTUS, A, 22 Juni 2014
Ul. 8:2-3.14b-16a; 1Kor. 10:16-17; Yoh. 6:51-59
Pesta Tubuh dan Darah Kristus merupakan saat untuk merenungkan besarnya kasih Tuhan Yesus, yang menyerahkan diriNya, tubuh dan darahNya, untuk menyelamatkan kita. Tetapi sekaligus merupakan peringatan bagi kita, bagaimana kita membalas kasih Yesus itu. Kisah Yoh. 6, merupakan antiklimaks dalam karya Yesus.
Ia yang mula-mula sukses dengan mengadakan mukjijad perbanyakan roti untuk 5000 orang, akhirnya ditolak dan ditinggalkan bangsa Yahudi, bahkan juga oleh mereka yang semula mengikuti Dia. Yesus menawarkan roti dan hidup yang lebih dari sekedar kenyang dan bebas dari penjajahan Roma.
Yesus menawarkan keselamatan dengan menyerahkan daging dan darahNya; pribadi dan kehidupanNya. Yesus menawarkan keselamatan melalui kedekatan dengan pribadinya yang menebus dosa manusia. Tetapi manusia lebih mencari yang sesuai dengan keinginan, kebutuhan dan nafsunya. Sehingga dalam Pesta Tubuh dan Darah Kristus, belangsung lah ketegangan antara keinginan dunia dan keselamatan surga; antara nafsu dan kebahagiaan; antara kenikmatan dan pesahabatan.
Ketegangan ini tidak hanya terjadi diantara bangsa Yahudi yang hidup semasa Yesus, juga masih berlangsung sampai sekarang diantara kita. Kita sering lebih sibuk dengan urusan dan kepentingan kita saat ini daripada keselamatan kita dalam dan bersama Kristus. Tetapi Tuhan Yesus masih tetap menawarkan keselamatanNya, melalui pemberian Tubuh dan DarahNya dalam Ekaristi. Bagaimana tanggapan kita?
Saya seorang ibu dengan 3 anak (umur 14, 12, 3) dan baru saja menyelesaikan kuliah malam untuk mendapat gelar Sarjana Muda. Kuliah terakhir yang saya ikuti adalah Sosiologi. Bahan kuliah terakhirnya disebut ibu dosen, Proyek Senyum. Semua mahasiswa diminta memberi senyuman kepada 3 orang dan mencatat hasilnya. Karena saya orangnya mudah bergaul dan selalu tersenyum dan menyapa siapa saja, saya rasa ini pekerjaan kecil. Besok paginya, saya, suami dan anak kami yang terkecil (umur 3 tahun); sesudah jalan-jalan pagi, mampir ke Mc.
Donald.
Pagi itu dingin dan berangin. Kami antri menunggu giliran pesan. Tiba-tiba semua orang, termasuk suami saya mundur dari antrian. Saya tidak menyadarinya. Ketika sadar dan menoleh kebelakang, saya merasa panik. Ada dua orang gelandangan, tubuhnya bau. Saya menatap yang antri di depan, orangnya pendek, dia tersenyum dan matanya bersinar, penuh kasih Allah yang mencari penerimaanku. “Selamat pagi,” sapanya sambil menghitung uang receh yang ada di tangannya.
Orang kedua hanya berdiri dan memilin-milih jari tangannya. Ia cacat mental dan bapak pendek itu yang membimbingnya. Mereka hanya pesan kopi panas, karena hanya itu yang dapat mereka bayar (kalau mau duduk menghangatkan diri di restoran, harus pesan sesuatu). Tiba-tiba saya menyadari bahwa saya satu-satunya orang yang tidak menyingkir dari kedua orang itu dan semua yang lain berdiri memperhatikan saya.
Tiba-tiba saya merasa ada dorongan kuat untuk membalas senyuman bapak pendek itu; tetapi mereka sudah duduk di pojok dengan kopinya. Saya pesan ekstra 2 paket sarapan pagi; saya bawa paket itu ke meja mereka dan saya letakkan di meja itu. Saya sentuh tangan bapak pendek yang dingin itu. Bapak itu menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih.”
Saya membungkuk dan menepuk tangannya. “Bukan saya yang harus diterimakasihi. Tuhan bekerja melalui saya untuk memberimu harapan.” Kini matanya kembali bersinar dan bibirnya tersenyum: “Tuhan memberkati ibu.” Dengan mata basah, saya kembali ke meja dimana suami dan anak saya duduk. Suamiku tersenyum padaku, ia berkata: “Itu sebabnya Tuhan memberi kamu untuk aku, untuk memberiku harapan.” Kami berpegangan tangan sejenak. Dan pada saat itu kami menyadari bahwa karena rahmat Allah kami mendapat kurnia untuk berbagi. Kami bukan orang-orang saleh, tetapi pagi itu kami mengalami Pancaran Kasih Allah yang begitu indah.
Malam itu saya datang ke tempat kuliah, untuk ikut kuliah terakhir. Saya serahkan laporan Proyek Senyum saya kepada dosen. Sehabis membacanya, ia bertanya, “Boleh saya ceritakan ini?” Saya hanya mengangguk. Ketika ibu dosen itu membacakan cerita saya, saat itu saya menyadari bahwa kita, sebagai sesama manusia, merupakan bagian dari karya Tuhan yang ingin agar manusia saling menyembuhkan dan memberi harapan. Saya mendapat kesempatan itu dengan menyentuh hati orang-orang di Mc. McDonald, suami, anak, ibu dosen dan teman-teman kuliah saya pada hari terakhir saya menjadi mahasiswa.
Saya lulus dengan pelajaran yang terpenting: PENERIMAAN TANPA SYARAT merupakan pemberian harapan dan hidup. Makna hidup ini ialah mengasihi sesama dan memakai benda-benda; bukannya mencintai barang-barang dan memanfaatkan orang lain. Banyak orang datang dan pergi dalam hidupmu. Tetapi hanya sahabat sejati yang meninggalkan jejak di hatimu. Untuk menguasai dirimu, pakai otakmu; untuk bergaul dengan sesama, pakai hatimu.
Pesta Tubuh dan Darah Kristus adalah pernyataan konkrit Allah mengasihi manusia dan menerima manusia tanpa syarat untuk diselamatkan. Kalau ada syarat, hanya bahwa manusia perlu mau diselamatkan. Setiap kali kita menerima hosti dalam komuni, kepada kita ditegaskan kembali, tawaran cinta Allah yang menyelamatkan melalui kurban Yesus Kristus.
Jawaban kita bisa seperti orang-orang Yahudi, tidak perduli dengan tawaran Tuhan, tetap mengejar keinginan dan kebutuhan kita sendiri. Atau kita bisa seperti ibu dalam cerita tadi. Kita dipakai Allah untuk menyentuh hidup orang lain. Seperti ibu itu, kita juga punya keinginan dan kehendak baik. Itu adalah kuasa yang ditanamkan Allah pada kita.
Membalas kasih Kristus dengan membuka diri untuk lebih banyak mendapat kesempatan untuk dipakai Allah. Bukan menurut keinginan hati kita, tetapi mengikuti keprihatinan dan keperdulian Allah. Menyebarkan kasih Kristus, itu tanggapan kita atas kasihNya. Kita dipilih oleh Kasih, karena kasih dan untuk kasih. Kita dipilih untuk ikut ambil bagian dalam Proyej Senyum Kristus: MENYAPA SESAMA, BERBAGI HARAPAN. AMIN
sumber: www.sesawi.net