HARI RAYA TUBUH DAN DARAH KRISTUS,
A, 22 Juni 2014
Ul. 8:2-3.14b-16a; 1Kor. 10:16-17; Yoh. 6:51-59
Ul. 8:2-3.14b-16a; 1Kor. 10:16-17; Yoh. 6:51-59
Pesta Tubuh dan
Darah Kristus merupakan saat untuk merenungkan besarnya kasih Tuhan Yesus, yang
menyerahkan diriNya, tubuh dan darahNya, untuk menyelamatkan kita. Tetapi
sekaligus merupakan peringatan bagi kita, bagaimana kita membalas kasih Yesus
itu. Kisah Yoh. 6, merupakan antiklimaks dalam karya Yesus.
Ia yang
mula-mula sukses dengan mengadakan mukjijad perbanyakan roti untuk 5000 orang,
akhirnya ditolak dan ditinggalkan bangsa Yahudi, bahkan juga oleh mereka yang
semula mengikuti Dia. Yesus menawarkan roti dan hidup yang lebih dari sekedar
kenyang dan bebas dari penjajahan Roma.
Yesus menawarkan
keselamatan dengan menyerahkan daging dan darahNya; pribadi dan kehidupanNya.
Yesus menawarkan keselamatan melalui kedekatan dengan pribadinya yang menebus
dosa manusia. Tetapi manusia lebih mencari yang sesuai dengan keinginan,
kebutuhan dan nafsunya. Sehingga dalam Pesta Tubuh dan Darah Kristus,
belangsung lah ketegangan antara keinginan dunia dan keselamatan surga; antara
nafsu dan kebahagiaan; antara kenikmatan dan pesahabatan.
Ketegangan ini
tidak hanya terjadi diantara bangsa Yahudi yang hidup semasa Yesus, juga masih
berlangsung sampai sekarang diantara kita. Kita sering lebih sibuk dengan
urusan dan kepentingan kita saat ini daripada keselamatan kita dalam dan
bersama Kristus. Tetapi Tuhan Yesus masih tetap menawarkan keselamatanNya,
melalui pemberian Tubuh dan DarahNya dalam Ekaristi. Bagaimana tanggapan kita?
Saya seorang ibu
dengan 3 anak (umur 14, 12, 3) dan baru saja menyelesaikan kuliah malam untuk
mendapat gelar Sarjana Muda. Kuliah terakhir yang saya ikuti adalah Sosiologi.
Bahan kuliah terakhirnya disebut ibu dosen, Proyek Senyum. Semua mahasiswa
diminta memberi senyuman kepada 3 orang dan mencatat hasilnya. Karena saya
orangnya mudah bergaul dan selalu tersenyum dan menyapa siapa saja, saya rasa
ini pekerjaan kecil. Besok paginya, saya, suami dan anak kami yang terkecil
(umur 3 tahun); sesudah jalan-jalan pagi, mampir ke Mc.
Donald.
Donald.
Pagi itu dingin
dan berangin. Kami antri menunggu giliran pesan. Tiba-tiba semua orang,
termasuk suami saya mundur dari antrian. Saya tidak menyadarinya. Ketika sadar
dan menoleh kebelakang, saya merasa panik. Ada dua orang gelandangan, tubuhnya
bau. Saya menatap yang antri di depan, orangnya pendek, dia tersenyum dan
matanya bersinar, penuh kasih Allah yang mencari penerimaanku. “Selamat pagi,”
sapanya sambil menghitung uang receh yang ada di tangannya.
Orang kedua
hanya berdiri dan memilin-milih jari tangannya. Ia cacat mental dan bapak
pendek itu yang membimbingnya. Mereka hanya pesan kopi panas, karena hanya itu
yang dapat mereka bayar (kalau mau duduk menghangatkan diri di restoran, harus
pesan sesuatu). Tiba-tiba saya menyadari bahwa saya satu-satunya orang yang
tidak menyingkir dari kedua orang itu dan semua yang lain berdiri memperhatikan
saya.
Tiba-tiba saya
merasa ada dorongan kuat untuk membalas senyuman bapak pendek itu; tetapi
mereka sudah duduk di pojok dengan kopinya. Saya pesan ekstra 2 paket sarapan
pagi; saya bawa paket itu ke meja mereka dan saya letakkan di meja itu. Saya
sentuh tangan bapak pendek yang dingin itu. Bapak itu menatapku dengan mata
berkaca-kaca. “Terima kasih.”
Saya membungkuk
dan menepuk tangannya. “Bukan saya yang harus diterimakasihi. Tuhan bekerja
melalui saya untuk memberimu harapan.” Kini matanya kembali bersinar dan
bibirnya tersenyum: “Tuhan memberkati ibu.” Dengan mata basah, saya kembali ke
meja dimana suami dan anak saya duduk. Suamiku tersenyum padaku, ia berkata:
“Itu sebabnya Tuhan memberi kamu untuk aku, untuk memberiku harapan.” Kami
berpegangan tangan sejenak. Dan pada saat itu kami menyadari bahwa karena
rahmat Allah kami mendapat kurnia untuk berbagi. Kami bukan orang-orang saleh,
tetapi pagi itu kami mengalami Pancaran Kasih Allah yang begitu indah.
Malam itu saya
datang ke tempat kuliah, untuk ikut kuliah terakhir. Saya serahkan laporan Proyek
Senyum saya kepada dosen. Sehabis membacanya, ia bertanya, “Boleh saya
ceritakan ini?” Saya hanya mengangguk. Ketika ibu dosen itu membacakan cerita
saya, saat itu saya menyadari bahwa kita, sebagai sesama manusia, merupakan
bagian dari karya Tuhan yang ingin agar manusia saling menyembuhkan dan memberi
harapan. Saya mendapat kesempatan itu dengan menyentuh hati orang-orang di Mc.
McDonald, suami, anak, ibu dosen dan teman-teman kuliah saya pada hari terakhir
saya menjadi mahasiswa.
Saya lulus
dengan pelajaran yang terpenting: PENERIMAAN TANPA SYARAT merupakan pemberian
harapan dan hidup. Makna hidup ini ialah mengasihi sesama dan memakai
benda-benda; bukannya mencintai barang-barang dan memanfaatkan orang lain.
Banyak orang datang dan pergi dalam hidupmu. Tetapi hanya sahabat sejati yang
meninggalkan jejak di hatimu. Untuk menguasai dirimu, pakai otakmu; untuk
bergaul dengan sesama, pakai hatimu.
Pesta Tubuh dan
Darah Kristus adalah pernyataan konkrit Allah mengasihi manusia dan menerima
manusia tanpa syarat untuk diselamatkan. Kalau ada syarat, hanya bahwa manusia
perlu mau diselamatkan. Setiap kali kita menerima hosti dalam komuni, kepada
kita ditegaskan kembali, tawaran cinta Allah yang menyelamatkan melalui kurban
Yesus Kristus.
Jawaban kita
bisa seperti orang-orang Yahudi, tidak perduli dengan tawaran Tuhan, tetap
mengejar keinginan dan kebutuhan kita sendiri. Atau kita bisa seperti ibu dalam
cerita tadi. Kita dipakai Allah untuk menyentuh hidup orang lain. Seperti ibu
itu, kita juga punya keinginan dan kehendak baik. Itu adalah kuasa yang
ditanamkan Allah pada kita.
Membalas kasih
Kristus dengan membuka diri untuk lebih banyak mendapat kesempatan untuk
dipakai Allah. Bukan menurut keinginan hati kita, tetapi mengikuti keprihatinan
dan keperdulian Allah. Menyebarkan kasih Kristus, itu tanggapan kita atas
kasihNya. Kita dipilih oleh Kasih, karena kasih dan untuk kasih. Kita dipilih
untuk ikut ambil bagian dalam Proyej Senyum Kristus: MENYAPA SESAMA, BERBAGI
HARAPAN. AMIN
sumber: www.sesawi.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar